bulat.co.id -Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) akan disahkan oleh
DPR dalam rapat paripurna hari ini, Selasa (6/12/2022). R
KUHP ini akan menggantikan
KUHP bikinan penjajah kolonial.
"Setelah melalui proses sangat panjang dan lama, insyaallah hari Selasa, 6 Desember ini, bangsa Indonesia akhirnya memiliki
KUHP buatan sendiri untuk menggantikan
KUHP produk penjajah Belanda yang sudah berlaku lebih dari 150 tahun," ucap anggota Komisi III DPR, Habiburokhman, Senin (5/12/2022).
Bagi Habiburokhman, pengesahan R
KUHP adalah kabar baik dan angin segar demokrasi Indonesia. Pasalnya, menurutnya, beberapa pasal fundamental penjaga demokrasi yang ada dalam KUHP.
Baca Juga:Demonstrasi Tolak RKUHP Berlangsung di DPR Siang Ini
"Antara lain Pasal 36 yang mengatur soal pertanggungjawaban pidana, di mana pelaku pidana hanya bisa dijatuhi hukuman apabila bisa dibuktikan adanya sikap batin atau mens rea si pelaku untuk melakukan pidana. Pengaturan ini akan menghentikan fenomena pemidanaan orang-orang yang bermaksud mengkritik pemerintah tetapi yang dituduh melakukan pidana menyebarkan kebencian," ucapnya.
Kemudian, Habiburokhman mengungkit Pasal 14 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang berita bohong yang menyebabkan banyak pengkritik pemerintah masuk bui. Menurutnya, pasal tersebut kini dihapus.
"Begitu juga dengan Pasal 263, yang mencabut Pasal 14 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang penyebaran berita bohong yang selama ini banyak menjerat mereka yang berseberangan dengan penguasa, seperti Habib Rizieq, Syahganda Nainggolan, dan Jumhur Hidayat.
"Dengan Pasal 263 ini mereka yang dituduh menyebar berita bohong tidak bisa begitu saja dipidana jika tidak terjadi kerusuhan secara fisik. Pendeknya, pengaturan Pasal 263 menjadi delik yang materiil," katanya.
Kemudian, terdapat pula Pasal 278 yang mengatur pidana bagi aparat penegak hukum yang merekayasa kasus. Yang merasa dikriminalisasi bisa mengadukan dan melapor ke penegak hukum.
"Yang paling baru dan adalah Pasal 278 yang mengatur ancaman pidana 9 tahun kepada aparat penengah hukum yang merekayasa kasus. Dengan adanya pasal ini setiap aktivis yang merasa dikriminalisasi dan memiliki bukti yang cukup justru bisa melaporkan aparat penegak hukum secara pidana," katanya.
Sementara itu, soal penyerangan kehormatan dan harkat martabat Presiden, sudah direformulasi. Tindakan penyerangan tidak bisa dipidana kalau untuk kepentingan umum.
"Di sisi lain Pasal penyerangan kehormatan dan harkat martabat Presiden sudah direformulasi dengan adanya penegasan bahwa tidak termasuk penyerangan kehormatan dan harkat martabat Presiden jika dilakukan untuk kepentingan umum. Begitu juga Pasal penghinaan kepada kekuasaan umum, Polri, jaksa sudah dihilangkan," katanya.
"Pengaturan pidana mati juga sudah dirubah sesuai tuntutan kelompok LSM dengan menghilangkan kata 'dapat' pada Pasal 100," ujarnya.