bulat.co.id -JAKARTA
| Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mabes TNI belakangan ini menjadi
surotan publik. Pasalnya, pasca OTT yang dilakukan KPK terhadap Kepala Badan
Sar Nasional (Basarnas), muncul sikap keberatan dari pihak Mabes TNI.
Menyikapi polemik itu, Presiden Joko Widodo meminta
agar KPK dan Mabes TNI dapat berkoordinasi dalam penanganan kasus dugaan
korupsi penerimaan suap yang melibatkan Kepala Basarnas Marsdya TNI Henri
Alfiandi.
Baca Juga :OTT Kabasarnas, Benny Kabur: KPK Jangan Tebang Pilih">Soroti OTT Kabasarnas, Benny Kabur: KPK Jangan Tebang Pilih
"Ya itu menurut saya masalah koordinasi ya, masalah koordinasi yang harus
dilakukan. Semua instansi sesuai dengan kewenangan masing-masing, menurut
aturan," kata Jokowi di Jakarta, Senin (31/7).
Bila hal tersebut dilakukan maka persoalan KPK dan Mabes TNI dapat diselesaikan.
"Kalau itu dilakukan, rampung," tegas Presiden.
Sebelumnya, Rabu
(26/7),
KPK telah menetapkan
Kepala Basarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi (HA)
sebagai tersangka lantaran diduga menerima suap sebesar Rp88,3 miliar dari
beberapa proyek pengadaan barang di Basarnas pada rentang waktu 2021-2023.
Ada satu tersangka lain yang juga perwira TNI aktif yaitu Koorsmin Kabasarnas
Letkol Adm Afri Budi Cahyanto. Sedangkan dari pihak sipil tersangkanya adalah
Komisaris Utama PT. Multi Grafika Cipta Sejati (MGCS) Mulsunadi Gunawan (MG),
Direktur Utama PT IGK (Intertekno Grafika Sejati (IGK) Marilya (MR), dan
Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama (KAU) Roni Aidil.
Kasus tersebut terungkap setelah penyidik lembaga antirasuah melakukan operasi
tangkap tangan (OTT) pada Selasa (25/7) di Cilangkap dan Jatisampurna, Bekasi.
Baca Juga :KPK Minta Maaf ke Panglima TNI, Akui Salah Prosedur OTT Kepala Basarnas">KPK Minta Maaf ke Panglima TNI, Akui Salah Prosedur OTT Kepala Basarnas
Namun dalam konferensi pers di Mabes TNI Cilangkap Komandan Pusat Polisi
Militer (Danpuspom) TNI Marsekal Muda (Marsda) TNI Agung Handoko menilai OTT
dan penetapan tersangka yang dilakukan KPK terhadap Marsdya TNI Henri Alfiandi
(HA) dan Letkol Adm Afri Budi Cahyanto (ABC), tidak sesuai dengan prosedur.
Sehingga pada Jumat (28/7), Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengakui anak buahnya
melakukan kesalahan dan kekhilafan dalam penetapan tersangka terhadap anggota
TNI.
Pernyataan itu diungkapkan setelah rombongan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen)
TNI Laksamana Muda Julius Widjojono didampingi Komandan Pusat Polisi Militer
(Danpuspom) TNI Marsekal Pertama Agung Handoko beserta jajaran mendatangi gedung
KPK.
Johanis Tanak merujuk pada Pasal 10 UU No 14 tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyebut pokok-pokok
peradilan itu diatur ada empat lembaga, peradilan umum, militer, peradilan tata
usaha negara dan agama.
Ia pun mengatakan, berangkat dari kasus tersebut, pihaknya akan berbenah dan
lebih berhati-hati dalam penanganan kasus korupsi khususnya yang melibatkan
anggota TNI.
Kasus dugaan korupsi di Basarnas berawal pada tahun 2021. Saat itu, Basarnas
membuka beberapa tender proyek pekerjaan yang diumumkan melalui Layanan
Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).
Kemudian, pada tahun 2023, Basarnas kembali membuka tender tiga proyek
pekerjaan yakni, pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan, pengadaan
Public Safety Diving Equipment, dan Pengadaan ROV untuk KN SAR Ganesha
(Multiyears 2023-2024).
Tiga tersangka dari pihak swasta kemudian melakukan pendekatan secara personal
dengan menemui langsung HA selaku Kepala Basarnas dan ABC selaku Koorsmin
Kepala Basarnas merangkap asisten sekaligus orang kepercayaan HA, agar
memenangkan tiga proyek tersebut.
Dalam pertemuan tersebut, diduga terjadi kesepakatan pemberian sejumlah uang
berupafeesebesar 10
persen dari nilai kontrak. Penentuan besaran fee tersebut diduga ditentukan langsung
oleh HA. (dhan/ant)