bulat.co.id - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumut menyikapi kasus penembakan yang diduga dilakukan oknum aparat hingga menyebabkan kematian
Rio Fahrezi atau RF, remaja 17 tahun di
Belawan pada Selasa (16/1/2024) malam. KontraS menyesalkan seorang remaja tak bersalah harus meninggal oleh senjata yang dibeli dari uang negara."Turut berduka atas meninggalnya AF, hari ini satu nyawa anak melayang karena peluru yang diduga dari senjata Pak Polisi, ini menyedihkan. Apalagi menurut keluarga bahwa korban bukan bagian dari kerumunan bentrokan, sungguh menyesakkan ketika seorang remaja meninggal di tangan senjata yang dibeli dari uang negara, suatu duka yang tak berkira," kata Koordinator KontraS Sumut Rahmat Muhammad di Medan, Kamis, 18 Januari 2024.
Dari kasus ini, kata Rahmat, kita belajar bahwa Polisi bukan penembak jitu semacam James Bond, mereka bisa salah tembak.
"Oleh sebab itu, kita selalu mengkritik penggunaan senjata api, lagian sehebat apasih polisi kita bisa menembak pelaku kejahatan selalu tepat di bagian kaki (betis)? Kalau memang seakurat itu pasti kejadian seperti ini muskil terjadi," ujar Rahmat dilansir dari detaksumut.
Dalam beberapa kali, ungkapnya, KontraS mendampingi korban kasus penembakan, terutama penembakan di bagian kaki. "Kita taulah bagaimana penembakan itu dilakukan, yang pasti dilakukan dari jarak dekat," ujarnya.
Bahkan, bebernya, pengakuan dari para korban yang mereka dampingi, korban ditembak dengan tembak tempel. Jadi kalau jauh menembaknya ya seperti kasus ini jadinya, jauh melenceng dari sasaran, dan menimbulkan korban anak tak berdosa.
Selain itu, Rahmat merasa aneh bagaimana polisi menemba mengarah ke badan, bukan ke udara. Artinya, petugas bukan melakukan tembakan peringatan tapi memang tembakan untuk membunuh.
"Tembakan peringatan harusnya ditembak ke udara bukan lurus ke depan," tegasnya.
Tembakan melumpuhkan juga, jelas Rahmat, harusnya ke arah bawah, fakta bahwa korban meninggal menembus dari belakang kepala ke kening adalah bentuk tembakan mematikan yang salah.
"Kasus ini harus disikapi secara serius, tolong jangan ada lagi kalimat "tembak mati" lagi ke depan, kasus ini suatu bukti bahwa instruksi tembak mati oleh Bobby itu berbahaya," kata Rahmat.
Selain itu, Rahmat mendesak Polda Sumut harus melakukan evaluasi pengunaan senpi, ada mekanisme yang tidak sesuai dalam kasus ini. Pasalnya, pada peraturan penggunaan senjata kekuatan, sesungguhnya senpi hanya diperbolehkan digunakan pada situasi genting.
Hal itu diatur secara tegas pada Pasal 47 Perkap No. 8 Tahun 2009.
"Jadi ringkasnya, penggunaan senjata api hanya boleh digunakan untuk melindungi nyawa manusia, membela diri dari ancaman luar biasa, membela masyarakat dari ancaman kematian, mencegah seseorang melakukan kejahatan yang sangat membahayakan jiwa, dan itupun dilakukan dengan cara mencegah/melumpuhkan bukan membunuh," ujarnya.
Pihaknya mendorong untuk menyelesaikan kasus ini bukan hanya dari segi hukum, tapi mengevaluasi praktek penggunaan kekuatan selama ini.
"Dan, atas kasus ini, pelaku harus diadili, baik secara pidana maupun etik, sehingga rasa keadilan bagi keluarga korban bisa didapatkan, rasa keadilan juga tidak selalu pada penghukuman tetapi juga harus ada restitusi (penggantian kerugian) yang diberikan," pungkasnya.