bulat.co.id -Harga emas terbang. Pada penutupan perdagangan Kamis
(19/1/2023), emas ditutup di posisi US$ 1.931,39 per troy ons. Harga sang logam
mulia melonjak 1,45%. Terpantau, harganya masih terus alami kenaikan pada
perdagangan pagi hari ini, Jumat (20/1/2023) pukul 06: 13 WIB.
Harga emas dunia di pasar spot menguat 0,03% ke posisi US$
1.931,98 per troy ons. Harga tersebut adalah yang tertinggi sejak 22 April 2022
atau sembilan bulan terakhir.
Baca Juga:Harga Emas Masih Melemah 0,24%">Harga Emas Masih Melemah 0,24%
Analis Circle Squared Alternative Investments, Jeffrey Sica,
mengatakan emas melambung karena ambruknya dolar Amerika Serikat (AS). Indeks dolar bergerak di kisaran 102,11 pada
perdagangan kemarin, level terendahnya sejak Juni 2022.
"Dolar melemah dan ini adalah alasan utama mengapa emas
menguat," tutur Sica, dikutip dari CNBC Indonesia.
Harga emas juga menguat karena pelaku pasar juga
mengkhawatirkan datangnya resesi setelah pejabat bank sentral AS The Federal
Reserve (The Fed) terus menegaskan kebijakan hawkishnya.
Presiden The Fed Boston Susan Collins mengatakan suku bunga
The Fed akan dikerek di atas 5% dan kemudian tetap ditahan di level tersebut.
Sementara itu, Wakil Chairman The Fed Lael Brainard
mengatakan sinyal perlambatan ekonomi sudah terlihat.
Data ekonomi AS memang menunjukkan ekonomi AS terus menguat
dan ini bisa menjadi faktor terus naiknya suku bunga. Namun, ekonomi AS bisa
melambat jika The Fed terus memberlakukan kebijakan moneter ketatnya.
Departemen Tenaga Kerja AS, Kamis (19/1/2023) melaporkan
data klaim pengangguran jatuh ke level terendah sejak September. Pada pekan
yang berakhir pada 14 Januari 2023, jumlah warga AS yang mengajukan klaim
pengangguran ada di angka 190.000.
Klaim pengangguran jauh di bawah ekspektasi pasar yakni
215.000.Kondisi ini menunjukkan jika ekonomi AS masih sangat kuat.
"Terlepas dari semua PHK pasca-pandemi teknologi besar,
pasar kerja tetap panas. Pasar tenaga kerja perlu mengendur untuk memungkinkan
Fed mempertahankan suku bunga dengan nyaman," kata Ed Moya, analis dari
OANDA.